just saying

Cerita Hujan

“Ketika hujan bertabrakan dengan rindu, aku basah menikmatinya dalam diam,” -anonim-

Sore itu setelah sekian lama, saya kembali menaiki sepeda motor dengan rute yang lumayan jauh. Berbekal jaket, sendal selop dan helm, saya menyusuri jalanan dari Sanur, Benoa hingga Nusa Dua. Lama, lama sekali saya tidak berkendara sepeda motor, sedikit kagok dan pastinya berjalan kalem (pelan).

Muncul memori-memori puluhan tahun lalu, ketika motor menjadi sahabat dan mitra saya sehari-hari. Di Jawa, terutama Jogja, sebagian besar menggunakan motor sebagai alat transportasinya. Selain mudah dan murah, motor juga lebih simpel diajak jalan di jalanan sempit.

Dulu waktu kuliah, hanya saya dan rekan saya dari Palembang yang menggunakan motor untuk kuliah. Kami aktif bergonta ganti pasangan bonceng hehe. Seru sekali. Pun ketika saya SMA, menaiki motor hingga ke wilayah Ketep, gardu pandang Merapi, sampai ke daerah pelosok berboncengan dengan kawan, menjadi hal yang sesungguhnya dinanti dan keras melekat di hati.

Kemarin, memori itu hadir kembali, tentu dengan raga yang berbeda, sedikit goyah karena usia 😁. Namun sekali lagi, naik motor memang punya sensasi sendiri.

Sore itu, setiba masuk wilayah Nusa Dua, hujan sepertinya ingin menyapa,

“Hai kamu, lama tak bersua, apa tidak sebaiknya kita bertatap muka sembari kamu berkendara.

Seperti dulu, iya saat kamu masih muda, dan jiwamu tertawa ketika aku tiba.

kita bercengkrama, kamu menikmatinya seperti anak kecil dan mainannya.

Aku hujan yang selalu kamu rindukan,” begitu kata hujan menyapa.

Hujan menyambut dengan lebatnya. Sempat berpikir untuk berhenti, tapi entah mengapa saya sangat menikmatinya. Sore itu jalanan juga membingungkan, beberapa kali nyasar ke tempat orang. Akhirnya badan basah kuyup kehujanan, Alhamdulillah ada tolak angin yang menenangkan. Usia memang tak lagi mudaπŸ˜…. Sekian cerita saya dan hujan sore itu.

—****—

Tinggalkan komentar